Sabtu, 01 Maret 2014

kerjasama dalam bidang infrastruktur antar daerah maupun antar negara


Kerjasama Dalam Bidang Infrastruktur
Antar Daerah maupun Antar Negara
Kerjasama dalam bidang infrastruktur antar daerah sangat dibutuhkan untuk menghindari terjadinya suatu kesalahpahaman yang tidak diinginkan serta memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak yang bersangkutan. Pemerintah RI menyadari perlunya kerjasama dalam mempercepat pembangunan, hal ini nampak dari beberapa produk hukum Petunjuk dan Pedoman kerjasama sebagai berikut :
  1. Permendagri No 6 Tahun 1975 tentang Kerjasama antar Daerah.
  2. Kepmendagri Nomor 275 Tahun 1982 tentang Pedoman Kerjasama Pembangunan antar Daerah
  3. SE-MENDAGRI No 114/4538/PUOD tanggal 4 Desember 1993 tentang Petunjuk Pelaksana Mengenai Kerjasama antar Daerah dan
  4. SE-MENDAGRI No 193/1652/PUOD tanggal 26 April 1993 tentang Tata Cara Pembentukan Hubungan Kerjasama antar Propinsi (Sister Province) dan antar kota (Sister City) dalam dan Luar Negeri. Serta Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor : 50 Tahun 2007 tentang Kerjasama antar Daerah.
Suatu kerjasama antar Pemerintah Daerah, dapat dilakukan dalam beberapa bentuk yaitu bentuk perjanjian dan bentuk pengaturan (Rosen, 1993). Bentuk-bentuk perjanjian (forms of agreement) dibedakan atas :
a. Handshake Agreements, yaitu pengaturan kerja yang tidak didasarkan atas perjanjian tertulis
b. Written Agreements, yaitu pengaturan kerjasama yang didasarkan atas perjanjian tertulis.
            Pada dasarnya kebijakan yang sering diambil adalah kerjasama dengan written agreements yakni pengaturan didasarkan pada perjanjian yang tertulis. Hal ini akan menguntungkan kedua belah pihak karena dapat dipastikan secara bersama dan disepakati.
v  Kerjasama Antar Daerah (dibidang transportasi)
1.    Pengolaan terminal Surabaya – Sidoarjo
Kerja sama pengelolaan terminal Purabaya, yakni terminal regional milik Pemerintah Kota Surabaya yang terletak di desa Bungurasih Kabupaten Sidoarjo, merupakan pendekatan kerjasama Pemerintah Kota Surabaya dan Pmerintah Kabupaten Sidoarjo. Perundingan yang dilakukan kedua belah pihak mendapatkan fasilitas penuh dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang berhasil mencapai kesepakatan kerjasama. Kesepakatan kerjasama ini ditungkan dalam Surat Gubernur, dimana pemda Kota Surabaya memperoleh wewenang untuk mengelola terminal regional di Bungurasih, Kabupaten Sidoarjo. Kerjasama ini menjembatani implementasi konsep pengembangan regional Gerbangkartosusilo dan menggantikan lokasi terminal regional lama milik Pemerintah Kota Surabaya di Joyoboyo.

2.    Pengolaan terminal Landungsari - Malang
Terminal Landungsari yang merupakan terminal regional milik Pemerintah Kota Malang yang berlokasi di desa Landungsari, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang yang secara geografis terletak lebih kurang 3 km sebelah barat batas wilayah Kota Malang. Kesepakatan untuk mengembangkan terminal regional Landungsari secara kolaboratif dicapai oleh Pemerintah Kota Malang dan Pemerintah Kabupaten Malang pada tanggal 11 November 1991. Dalam penggunaan pendapatan dan pembagian hasil, seperti yang tercantum pada undang-undang perjanjian kerjasama yakni :
a.       40 % pendapatan dimiliki Pemerintah Kota Malang
b.      40 % pendapatan dimiliki Pemerintah Kabupaten Malang
c.       20 % pendapatan digunakan untuk biaya operasional.
Selain itu, Pemerintah Kota Malang juga berhak mengelola terminal Landungsari dan melakukan pemungutan atas obyek retribusinya dan penerapan tarif retribusi menggunakan peraturan Daerah Kota Malang. Setiap bulannya Pemerintah Kabupaten Malang selalu mendapatkan laporan realisasi pendapatan dari Pemerintah Kota Malang berdasarkan bukti setoran ke Kas Daerah.

3.    Kerjasama Pengelolaaan Transportasi Udara
Di daerah Sumatera Utara, dalam usaha pelayanan transportasi udara dilakukan kerjasama untuk mengaktifkan kembali Pelabuhan Udara Pinongsori yang terletak di Kabupaten Tapanuli Tengah dan Pelabuhan Udara Aek Godang yang terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan. Kerjasama ini meliputi Pemerintah Kota Sibolga, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, Pemerintah Kota Padang Sidempuan, Pemerintah Kabupaten MAndailng Natal. Kedua pelbuhan udara ini sebelumnya  kurang difungsikan karena pemerintah daerah di mana pelabuhan udara terletak mengalami kesulitan dalam penyediaan dana operasional. Dengan adanya kerjasama dalam pendanaan pengelolaan Pelabuhan Udara Pinangsori di Tapanuli Tengan dan Lapangan Terbang Aek Godang di Tapanuli Selatan telah membawa keuntungan bersama dan dana pengelolaan dapat diatasi.

v  Kerjasama Antar Negara (daerah perbatasan)
(Studi Kasus : Kecamatan Paloh dan Sajingan Besar
Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat)
Kawasan perbatasan antar negara memiliki potensi strategis bagi berkembangnya kegiatan perdagangan internasional yang saling menguntungkan. Kawasan ini juga berpotensi besar menjadi pusat pertumbuhan wilayah, terutama dalam hal pengembangan industri, perdagangan, dan pariwisata. Kecamatan Paloh dan Sajingan Besar (PALSA) di Kabupaten Sambas merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan Negara Malaysia. Sebagai wilayah yang strategis, kaya akan sumber daya alam dan memiliki panorama alam yang eksotis, keberadaannya selama ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Akibatnya, banyak permasalahan yang muncul dikawasan ini, seperti kesenjangan ekonomi, ketertinggalan pembangunan dan terisolasinya kawasan. Ketiadaan konsep yang jelas menyebabkan pembangunan kawasan perbatasan terkesan tidak terencana dengan baik. Kenyataan ini mendorong Pemerintah Sambas untuk memprioritaskan pengembangan kawasan perbatasan dan daerah tertinggal dengan menyusun Program Pembangunan Daerah ( PROPEDA ) Kabupaten Sambas tahun 2001 – 2001. Program ini bertujuan untuk meningkatkan aksesibilitas wilayah terhadap factor produksi dan prasara fisik yang mendukung percepatan pembangunan serta mengembangkan kemampuan sumber daya manusia dan penguatan kelembagaan masyarakat.
Melihat potensi yang dimiliki, pengembangan PALSA diarahkan untuk dijadikan sebagai daerah industry, pariwisata dan perdagangan yang berorientasi pasar internasional, sehingga dapat memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan Provinsi Kalimantan Barat khususnya Kabupaten Sambas. Untuk mengembangkan kawasan perbatasan PALSA ini berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, baik pemerintah pusat, pemerintah Provinsi maupun Pemetintah Kabupaten Sambas sendiri. Bahkan pemerintah Malaysia (Negara bagian Sarawak) memberikan respon positif atas rencana pemerintah mengembangkan PALSA ini. Hal ini dibuktikan melalui komitmen mereka dalam pertemuan Forum Sosek malindo di Pontianak tanggal 22 maret 2005 yang lalu. Sebelumnya Pemerintah Kabupaten Sambas dengan Pihak Malaysia-Sarawak, telah membuat Master Plan dan Detail Plan pengembangan kawasan perbatasan PALSA. Dengan daerah Sarawak atas aksesibilitasnya yang menjangkau. Sistem infrastruktur di Sarawak khususnya prasarana transportasi baik darat, laut maupun udara kondisinya jauh lebih baik dibandingkan dengan Kabupaten Sambas dan Provinsi Kalimantan Barat pada umumnya. Semua kota-kota utama yang ada di wilayah Sarawak telah terkoneksi oleh jaringan prasarana transportasi jalan, kecuali sebagian kecil wilayah pedalamannya. Jalur transportasi darat ini bahkan telah menjangkau kawasan perbatasan antar negara baik Brunei maupun Indonesia. Begitu pula sarana dan prasarana lainnya seperti pelayanan listrik, air bersih dan telekomunikasi, sebagian besar telah menjangkau seluruh kota yang ada di Sarawak, termasuk kota-kota di perbatasan.
v  Kerjasama Internasional (Mendahulukan Pembangunan Infrastruktur (Infrastructure led) )
Kegiatan ini biasanya melibatkan peran pemerintah atau lembaga multilateral dalam perencanaan pengembangan kawasan yang belum atau tidak mempunyai nilai ekonomi secara signifikan. Hal ini dikarenakan kawasan yang akan dikembangkan tersebut secara geografis adalah kawasan  terpencil atau karena alasan politik dan keamanan sehingga tidak berkembang.  Dua contoh kawasan yang mewakili pendekatan ini adalah  Tumen River Development Zone  dan Hongkong-Shenzhen Special Economic Zone (SEZ).
 1.  Tumen River Development Zone
Kawasan ini terletak di Timur Laut China.  Tumen River Development Zone dikembangkan atas prakarsa dan kerjasama antara  United Nations Development Program  (UNDP) dengan Pemerintah China,  Korea Utara, Rusia, dan Mongolia, dengan dukungan Pemerintah Jepang dan Korea Selatan sebagai  partner  (UNDP, 1993). Kawasan ini terkenal karena sumberdaya alamnya dan memiliki pelabuhan laut dalam. Sejak 1991, UNDP telah mencoba mengembangkan  kawasan ini dengan membentuk koalisi bersama beberapa negara yang mempunyai kepentingan terhadap kawasan ini dengan maksud untuk menarik  investasi internasional. UNDP telah melakukan investasi cukup besar dalam penelitian dan perencanaan kawasan (Lee, 1998). Proyek ini bertujuan untuk mengembangkan zona tiga negara (China, Korea Utara dan Rusia) yang akan menjadi simpul transportasi utama. UNDP menganggap kawasan ini sangat strategis sebagai  kawasan pengembangan industri, dan merupakan sebuah kawasan dinamis dengan 10 juta populasi yang bermukim di kawasan ini. Negara-negara yang berpartisipasi menanggapinya dengan cara yang berbeda. Rusia misalnya, yang sedang mengalami proses  double transformation nampaknya tidak terlalu antusias, dan  khawatir kawasan “timur jauh”nya akan semakin berkembang. Sedangkan Pemerintah Korea Utara menunjukkan sinyal bahwa keikutsertaannya tidak diharapkan oleh rejim pemerintahannya. Namun kontras dengan apa yang dilakukan Pemerintah China, khususnya di kawasan Yanbian (bagian dari Provinsi Jilin), yang justru menanggapinya dengan  membangun infrastruktur secara besar-besaran di wilayahnya untuk mengantisipasi booming ekonomi yang diprediksi akan terjadi. China juga membangun jalur kereta api dari Yanbian ke salah  satu pelabuhan di wilayah Timur Jauh Rusia. Investasi secara terbatas juga dilakukan di Kota Hunchun dalam wilayah Yanbian, tetapi dampaknya juga masih terbatas. Pengembangan  Tumen River Development Zone menunjukkan salah satu jenis perencanaan  top-down  yang dilakukan oleh lembaga Internasional (Kim dan Wu, 1998). Dari paparan diatas, minimal ada tiga masalah kunci yang muncul, yaitu :
a.                            Kecilnya tingkat koherensi keikutsertaan dan  comon interest  diantara negara-negara yang terlibat.
b.                           Ketidakjelasan dari komplementaritas ekonomi secara langsung.
c.                            Ketidakmampuan dalam membantu pencapaian tujuan umum dan mengatasi kondisi kultural, etnis, dan konflik internal dari  negara-negara peserta.
Selain itu adanya faktor-faktor perubahan ekonomi dan iklim ekonomi internasional baik dari negara-negara peserta maupun negara-negara pen-support, menyebabkan proyek ini mencapai kemajuan yang lamban (Wu, 2001:30).         
2.  Hongkong-Shenzhen Special Economic Zone (SEZ)
Kawasan perbatasan Hongkong-Shenzhen telah menarik perhatian dunia dalam beberapa dekade terakhir, dikarenakan kawasan ini berkembang sangat pesat terutama di wilayah Shenzhen sendiri dan seluruh kawasan Delta Zhujiang (Liew, 1998).  Shenzhen Special Economic Zone (SEZ) dimulai pada tahun 1979. Kawasan ini membutuhkan waktu hampir 10 tahun sebelum berkembang seperti sekarang. Perhatian riset terfokus pada pembangunan ekonomi Shenzhen dikarenakan transformasi ekonomi Hongkong dan munculnya hubungan simbosis antara sektor manufaktur di Hongkong dengan industri baru di Shenzhen. Kasus Hongkong-Shenzhen adalah contoh yang tepat untuk menggambarkan pendekatan ini. Didasarkan pada kondisi yang mendukung, perencanaan  top-down dapat menghasilkan pembangunan yang signifikan dan berlanjut. Pendekatan komplementaritas ekonomi  adalah prasyarat utama. Keberadaan pusat pertumbuhan (Hongkong) yang membutuhkan transformasi  ekonomi serta tersedianya kawasan terdekat yang berbatasan langsung dengan  tenaga kerja dan nilai lahan yang lebih murah, merupakan kondisi utama. Kesamaan budaya dan bahasa merupakan kondisi yang menguntungkan. Ditambah lagi ekonomi transisi yang dilakukan China mengadopsi sistem ekonomi pasar. Proses ini diawali dengan melibatkan pembangunan properti dan mengintensifkan tenaga kerja bidang manufaktur. Sampai akhirnya mencapai industri berbasis teknologi seperti pada saat ini. Meskipun hasil yang telah dicapai Shenzhen dalam proses ini sangat signifikan, termasuk permasalahan kebijakan politiknya, namun masih terdapat persoalan lain yaitu lemahnya institusi dalam menangani permasalahan lintas batas. Permasalahan ini diantaranya: regulasi pertanahan, proteksi lingkungan, dan perencanaan infrastruktur (Wu, 2001:30).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar