Kerjasama
Dalam Bidang Infrastruktur
Antar Daerah
maupun Antar Negara
Kerjasama dalam bidang infrastruktur antar daerah sangat
dibutuhkan untuk menghindari terjadinya suatu kesalahpahaman yang tidak
diinginkan serta memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak yang
bersangkutan. Pemerintah RI menyadari perlunya kerjasama dalam mempercepat
pembangunan, hal ini nampak dari beberapa produk hukum Petunjuk dan Pedoman
kerjasama sebagai berikut :
- Permendagri No 6 Tahun 1975 tentang Kerjasama antar Daerah.
- Kepmendagri Nomor 275 Tahun 1982 tentang Pedoman Kerjasama Pembangunan antar Daerah
- SE-MENDAGRI No 114/4538/PUOD tanggal 4 Desember 1993 tentang Petunjuk Pelaksana Mengenai Kerjasama antar Daerah dan
- SE-MENDAGRI No 193/1652/PUOD tanggal 26 April 1993 tentang Tata Cara Pembentukan Hubungan Kerjasama antar Propinsi (Sister Province) dan antar kota (Sister City) dalam dan Luar Negeri. Serta Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor : 50 Tahun 2007 tentang Kerjasama antar Daerah.
Suatu kerjasama antar Pemerintah Daerah, dapat dilakukan
dalam beberapa bentuk yaitu bentuk perjanjian dan bentuk pengaturan (Rosen,
1993). Bentuk-bentuk perjanjian (forms of agreement) dibedakan atas :
a. Handshake Agreements, yaitu pengaturan kerja
yang tidak didasarkan atas perjanjian tertulis
b. Written Agreements, yaitu pengaturan kerjasama
yang didasarkan atas perjanjian tertulis.
Pada
dasarnya kebijakan yang sering diambil adalah kerjasama dengan written agreements yakni pengaturan
didasarkan pada perjanjian yang tertulis. Hal ini akan menguntungkan kedua
belah pihak karena dapat dipastikan secara bersama dan disepakati.
v Kerjasama
Antar Daerah (dibidang transportasi)
1.
Pengolaan terminal Surabaya – Sidoarjo
Kerja sama pengelolaan terminal
Purabaya, yakni terminal regional milik Pemerintah Kota Surabaya yang terletak
di desa Bungurasih Kabupaten Sidoarjo, merupakan pendekatan kerjasama
Pemerintah Kota Surabaya dan Pmerintah Kabupaten Sidoarjo. Perundingan yang
dilakukan kedua belah pihak mendapatkan fasilitas penuh dari Pemerintah Provinsi
Jawa Timur yang berhasil mencapai kesepakatan kerjasama. Kesepakatan kerjasama
ini ditungkan dalam Surat Gubernur, dimana pemda Kota Surabaya memperoleh
wewenang untuk mengelola terminal regional di Bungurasih, Kabupaten Sidoarjo.
Kerjasama ini menjembatani implementasi konsep pengembangan regional
Gerbangkartosusilo dan menggantikan lokasi terminal regional lama milik
Pemerintah Kota Surabaya di Joyoboyo.
2.
Pengolaan terminal Landungsari - Malang
Terminal
Landungsari yang merupakan terminal regional milik Pemerintah Kota Malang yang
berlokasi di desa Landungsari, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang yang secara
geografis terletak lebih kurang 3 km sebelah barat batas wilayah Kota Malang.
Kesepakatan untuk mengembangkan terminal regional Landungsari secara kolaboratif
dicapai oleh Pemerintah Kota Malang dan Pemerintah Kabupaten Malang pada
tanggal 11 November 1991. Dalam penggunaan pendapatan dan pembagian hasil,
seperti yang tercantum pada undang-undang perjanjian kerjasama yakni :
a.
40 % pendapatan dimiliki Pemerintah Kota Malang
b.
40 % pendapatan dimiliki Pemerintah Kabupaten Malang
c.
20 % pendapatan digunakan untuk biaya operasional.
Selain itu,
Pemerintah Kota Malang juga berhak mengelola terminal Landungsari dan melakukan
pemungutan atas obyek retribusinya dan penerapan tarif retribusi menggunakan
peraturan Daerah Kota Malang. Setiap bulannya Pemerintah Kabupaten Malang
selalu mendapatkan laporan realisasi pendapatan dari Pemerintah Kota Malang
berdasarkan bukti setoran ke Kas Daerah.
3. Kerjasama Pengelolaaan
Transportasi Udara
Di daerah Sumatera Utara, dalam
usaha pelayanan transportasi udara dilakukan kerjasama untuk mengaktifkan
kembali Pelabuhan Udara Pinongsori yang terletak di Kabupaten Tapanuli Tengah
dan Pelabuhan Udara Aek Godang yang terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan.
Kerjasama ini meliputi Pemerintah Kota Sibolga, Pemerintah Kabupaten Tapanuli
Tengah, Pemerintah Kota Padang Sidempuan, Pemerintah Kabupaten MAndailng Natal.
Kedua pelbuhan udara ini sebelumnya kurang difungsikan karena pemerintah
daerah di mana pelabuhan udara terletak mengalami kesulitan dalam penyediaan
dana operasional. Dengan adanya kerjasama dalam pendanaan pengelolaan Pelabuhan
Udara Pinangsori di Tapanuli Tengan dan Lapangan Terbang Aek Godang di Tapanuli
Selatan telah membawa keuntungan bersama dan dana pengelolaan dapat diatasi.
v Kerjasama
Antar Negara (daerah perbatasan)
(Studi Kasus :
Kecamatan Paloh dan Sajingan Besar
Kabupaten
Sambas, Kalimantan Barat)
Kawasan perbatasan antar negara memiliki potensi
strategis bagi berkembangnya kegiatan perdagangan internasional yang saling
menguntungkan. Kawasan ini juga berpotensi besar menjadi pusat pertumbuhan
wilayah, terutama dalam hal pengembangan industri, perdagangan, dan pariwisata.
Kecamatan Paloh dan Sajingan Besar (PALSA) di Kabupaten Sambas merupakan salah
satu wilayah yang berbatasan langsung dengan Negara Malaysia. Sebagai wilayah
yang strategis, kaya akan sumber daya alam dan memiliki panorama alam yang
eksotis, keberadaannya selama ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah.
Akibatnya, banyak permasalahan yang muncul dikawasan ini, seperti kesenjangan
ekonomi, ketertinggalan pembangunan dan terisolasinya kawasan. Ketiadaan konsep
yang jelas menyebabkan pembangunan kawasan perbatasan terkesan tidak terencana
dengan baik. Kenyataan ini mendorong Pemerintah Sambas untuk memprioritaskan
pengembangan kawasan perbatasan dan daerah tertinggal dengan menyusun Program
Pembangunan Daerah ( PROPEDA ) Kabupaten Sambas tahun 2001 – 2001. Program ini
bertujuan untuk meningkatkan aksesibilitas wilayah terhadap factor produksi dan
prasara fisik yang mendukung percepatan pembangunan serta mengembangkan
kemampuan sumber daya manusia dan penguatan kelembagaan masyarakat.
Melihat potensi yang dimiliki, pengembangan PALSA
diarahkan untuk dijadikan sebagai daerah industry, pariwisata dan perdagangan
yang berorientasi pasar internasional, sehingga dapat memberikan kontribusi
nyata bagi kemajuan Provinsi Kalimantan Barat khususnya Kabupaten Sambas. Untuk
mengembangkan kawasan perbatasan PALSA ini berbagai upaya telah dilakukan
pemerintah, baik pemerintah pusat, pemerintah Provinsi maupun Pemetintah
Kabupaten Sambas sendiri. Bahkan pemerintah Malaysia (Negara bagian Sarawak) memberikan
respon positif atas rencana pemerintah mengembangkan PALSA ini. Hal ini
dibuktikan melalui komitmen mereka dalam pertemuan Forum Sosek malindo di
Pontianak tanggal 22 maret 2005 yang lalu. Sebelumnya Pemerintah Kabupaten
Sambas dengan Pihak Malaysia-Sarawak, telah membuat Master Plan dan Detail Plan
pengembangan kawasan perbatasan PALSA. Dengan daerah Sarawak atas
aksesibilitasnya yang menjangkau. Sistem infrastruktur di Sarawak khususnya
prasarana transportasi baik darat, laut maupun udara kondisinya jauh lebih baik
dibandingkan dengan Kabupaten Sambas dan Provinsi Kalimantan Barat pada
umumnya. Semua kota-kota utama yang ada di wilayah Sarawak telah terkoneksi
oleh jaringan prasarana transportasi jalan, kecuali sebagian kecil wilayah
pedalamannya. Jalur transportasi darat ini bahkan telah menjangkau kawasan
perbatasan antar negara baik Brunei maupun Indonesia. Begitu pula sarana dan
prasarana lainnya seperti pelayanan listrik, air bersih dan telekomunikasi,
sebagian besar telah menjangkau seluruh kota yang ada di Sarawak, termasuk
kota-kota di perbatasan.
v Kerjasama
Internasional (Mendahulukan Pembangunan Infrastruktur (Infrastructure led) )
Kegiatan ini biasanya melibatkan peran pemerintah atau
lembaga multilateral dalam perencanaan pengembangan kawasan yang belum atau
tidak mempunyai nilai ekonomi secara signifikan. Hal ini dikarenakan kawasan
yang akan dikembangkan tersebut secara geografis adalah kawasan terpencil atau karena alasan politik dan
keamanan sehingga tidak berkembang. Dua
contoh kawasan yang mewakili pendekatan ini adalah Tumen River Development Zone dan Hongkong-Shenzhen Special Economic Zone
(SEZ).
1.
Tumen River Development Zone
Kawasan ini terletak di Timur Laut China. Tumen River Development Zone dikembangkan
atas prakarsa dan kerjasama antara
United Nations Development Program
(UNDP) dengan Pemerintah China,
Korea Utara, Rusia, dan Mongolia, dengan dukungan Pemerintah Jepang dan
Korea Selatan sebagai partner (UNDP, 1993). Kawasan ini terkenal karena
sumberdaya alamnya dan memiliki pelabuhan laut dalam. Sejak 1991, UNDP telah
mencoba mengembangkan kawasan ini dengan
membentuk koalisi bersama beberapa negara yang mempunyai kepentingan terhadap
kawasan ini dengan maksud untuk menarik
investasi internasional. UNDP telah melakukan investasi cukup besar
dalam penelitian dan perencanaan kawasan (Lee, 1998). Proyek ini bertujuan
untuk mengembangkan zona tiga negara (China, Korea Utara dan Rusia) yang akan
menjadi simpul transportasi utama. UNDP menganggap kawasan ini sangat strategis
sebagai kawasan pengembangan industri,
dan merupakan sebuah kawasan dinamis dengan 10 juta populasi yang bermukim di
kawasan ini. Negara-negara yang berpartisipasi menanggapinya dengan cara yang
berbeda. Rusia misalnya, yang sedang mengalami proses double transformation nampaknya tidak terlalu
antusias, dan khawatir kawasan “timur
jauh”nya akan semakin berkembang. Sedangkan Pemerintah Korea Utara menunjukkan
sinyal bahwa keikutsertaannya tidak diharapkan oleh rejim pemerintahannya.
Namun kontras dengan apa yang dilakukan Pemerintah China, khususnya di kawasan
Yanbian (bagian dari Provinsi Jilin), yang justru menanggapinya dengan membangun infrastruktur secara besar-besaran
di wilayahnya untuk mengantisipasi booming ekonomi yang diprediksi akan terjadi.
China juga membangun jalur kereta api dari Yanbian ke salah satu pelabuhan di wilayah Timur Jauh Rusia.
Investasi secara terbatas juga dilakukan di Kota Hunchun dalam wilayah Yanbian,
tetapi dampaknya juga masih terbatas. Pengembangan Tumen River Development Zone menunjukkan
salah satu jenis perencanaan
top-down yang dilakukan oleh
lembaga Internasional (Kim dan Wu, 1998). Dari paparan diatas, minimal ada tiga
masalah kunci yang muncul, yaitu :
a.
Kecilnya tingkat
koherensi keikutsertaan dan comon
interest diantara negara-negara yang
terlibat.
b.
Ketidakjelasan dari
komplementaritas ekonomi secara langsung.
c.
Ketidakmampuan
dalam membantu pencapaian tujuan umum dan mengatasi kondisi kultural, etnis,
dan konflik internal dari negara-negara
peserta.
Selain itu adanya faktor-faktor perubahan ekonomi dan
iklim ekonomi internasional baik dari negara-negara peserta maupun
negara-negara pen-support, menyebabkan proyek ini mencapai kemajuan yang lamban
(Wu, 2001:30).
2. Hongkong-Shenzhen Special Economic Zone (SEZ)
Kawasan perbatasan Hongkong-Shenzhen telah menarik
perhatian dunia dalam beberapa dekade terakhir, dikarenakan kawasan ini
berkembang sangat pesat terutama di wilayah Shenzhen sendiri dan seluruh
kawasan Delta Zhujiang (Liew, 1998).
Shenzhen Special Economic Zone (SEZ) dimulai pada tahun 1979. Kawasan
ini membutuhkan waktu hampir 10 tahun sebelum berkembang seperti sekarang.
Perhatian riset terfokus pada pembangunan ekonomi Shenzhen dikarenakan
transformasi ekonomi Hongkong dan munculnya hubungan simbosis antara sektor
manufaktur di Hongkong dengan industri baru di Shenzhen. Kasus
Hongkong-Shenzhen adalah contoh yang tepat untuk menggambarkan pendekatan ini.
Didasarkan pada kondisi yang mendukung, perencanaan top-down dapat menghasilkan pembangunan yang
signifikan dan berlanjut. Pendekatan komplementaritas ekonomi adalah prasyarat utama. Keberadaan pusat
pertumbuhan (Hongkong) yang membutuhkan transformasi ekonomi serta tersedianya kawasan terdekat
yang berbatasan langsung dengan tenaga
kerja dan nilai lahan yang lebih murah, merupakan kondisi utama. Kesamaan
budaya dan bahasa merupakan kondisi yang menguntungkan. Ditambah lagi ekonomi
transisi yang dilakukan China mengadopsi sistem ekonomi pasar. Proses ini
diawali dengan melibatkan pembangunan properti dan mengintensifkan tenaga kerja
bidang manufaktur. Sampai akhirnya mencapai industri berbasis teknologi seperti
pada saat ini. Meskipun hasil yang telah dicapai Shenzhen dalam proses ini sangat
signifikan, termasuk permasalahan kebijakan politiknya, namun masih terdapat
persoalan lain yaitu lemahnya institusi dalam menangani permasalahan lintas
batas. Permasalahan ini diantaranya: regulasi pertanahan, proteksi lingkungan,
dan perencanaan infrastruktur (Wu, 2001:30).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar