PERKEMBANGAN EKONOMI WILAYAH
Ilmu ekonomi wilayah merupakan
cabang ilmu ekonomi yang relatif baru berkembang (Isard, 1956; Vinod, 1964;
Blair, 1991; dan Sjafrizal, 2008). Namun demikian, perkembangan ilmu tersebut
dewasa ini ternyata cukup pesat. Latar belakang
muncul ilmu ekonomi wilayah adalah karena adanya kelemahan dari ilmu ekonomi
tradisional yang pada umumnya mengabaikan dimensi lokal dan ruang (space) dalam
analisisnya. Disamping itu, ilmu ekonomi menganggap bahwa struktur ekonomi
wilayah adalah sama dengan struktur ekonomi nasional yang dalam kenyataan sukar
diterima. Akibatnya, analisis ilmu ekonomi tradisional cenderung menjadi kurang
realistis, karena bagaimanapun adanya unsur lokasi dan ruang adalah jelas dan
nyata dan mempengaruhi kegiatan sosial ekonomi.
Kelemahan tersebut muncul karena
para pendiri Ilmu Ekonomi pada awalnya banyak berasal dari Inggris. Adapun
sejarah ilmu ekonomi dari masa ke masa sebagai berikut :
Kata
“ekonomi” berasal
dari kata
Yunani οἶκος (oikos) yang berarti “keluarga, rumah tangga” dan νόμος (nomos),
atau “peraturan, aturan, hukum,” dan
secara garis besar diartikan sebagai “aturan rumah tangga”
atau “manajemen rumah tangga.”
Ekonomi
adalah ilmu yang mempelajari perilaku
manusia dalam memilih
dan menciptakan kemakmuran. Inti
masalah ekonomi adalah adanya
ketidakseimbangan
antara kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan alatpemuas
kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Permasalahan itu
kemudian menyebabkan timbulnya kelangkaan
a. Aristoteles
Adalah yang pertama kali memikirkan tentang
transaksi ekonomi dan membedakan diantaranya antara yang bersifat “natural”
atau “unnatural”. Transaksi natural terkait dengan pemuasan kebutuhan dan
pengumpulan kekayaan yang terbatasi jumlahnya oleh tujuan yang dikehendakinya.
Transaksi un-natural bertujuan pada pengumpulan kekayaan yang secara potensial
tak terbatas. Dia menjelaskan bahwa kekayaan unnatural tak berbatas karena dia
menjadi akhir dari dirinya sendiri ketimbang sebagai sarana menuju akhir yang
lain yaitu pemenuhan kebutuhan. Contoh dati transaksi ini disebutkan adalah
perdagangan moneter dan retail yang dia ejek sebagai “unnatural” dan bahkan
tidak bermoral. Pandangannya ini kelak akan banyak dipuji oleh para
penulis Kristen di
Abad Pertengahan.
b. Chanakya
Adalah tokoh berikutnya. Dia sering mendapat
julukan sebagai IndianMachiavelli. Dia adalah professor ilmu
politik pada Takshashila University dari India kuno dan kemudian menjadi Prime
Minister dari kerajaan Mauryan yang dipimpin oleh Chandragupta Maurya. Dia
menulis karya yang berjudul Arthashastra (Ilmu mendapatkan materi) yang dapat
dianggap sebagai pendahulu dari Machiavelli’s The Prince. Banyak masalah yang
dibahas dalam karya itu masih relevan sampai sekarang, termasuk diskusi tentang
bagaiamana konsep manajemen yang efisien dan solid, dan juga masalah etika di
bidang ekonomi. Chanakya juga berfokus pada isu kesejahteraan seperti
redistribusi kekayaan pada kaum papa dan etika kolektif yang dapat mengikat
kebersamaan masyarakat.
c. ibnu
Khaldun
Menulis masalah teori ekonomi dan politik
dalam karyanya Prolegomena, menunjukkan bagaimana kepadatan populasi adalah
terkait dengan pembagian tenaga kerja yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi
yang sebaliknya mengakibatkan pada penambahan populasi dalam sebuah lingkaran.
Dia juga memperkenalkan konsep yang biasa disebut dengan Khaldun-Laffer Curve
(keterkaitan antara tingkat pajak dan pendapatan pajak dalam kurva berbentuk
huruf U).
d. Hugo
de Groot atau Grotius
Kebijakan ekonomi di Europe selama akhir
Middle Ages dan awal Renaissance adalah memberlakukan aktivitas ekonomi sebagai
barang yang ditarik pajak untuk para bangsawan dan gereja. Pertukaran ekonomi
diatur dengan hukum feudal seperti hak untuk mengumpulkan pajak jalan begitu
juga pengaturan asosiasi pekerja (guild) dan pengaturan religious dalam masalah
penyewaan. Kebijakan ekonomi seperti itu didesain untuk mendorong perdagangan
pada wilayah tertentu. Karena pentingnya kedudukan sosial, aturan-aturan
terkait kemewahan dijalankan, pengaturan pakaian dan perumahan meliputi gaya
yang diperbolehkan, material yang digunakan dan frekuensi pembelian bagi
masing-masing kelas yang berbeda.
e. Niccolò
Machiavelli
Dalam karyanya The Prince adalah penulis
pertama yang menyusun teori kebijakan ekonomi dalam bentuk nasihat. Dia
melakukannya dengan menyatakan bahwa para bangsawan dan republik harus
membatasi pengeluarannya, dan mencegah penjarahan oleh kaum yang punya maupun oleh
kaum kebanyakan. Dengan cara itu maka negara akan dilihat sebagai “murah hati”
karena tidak menjadi beban berat bagi warganya. Selama masa Early Modern
period, mercantilists hampir dapat merumuskan suatu teori ekonomi tersendiri.
Perbedaan ini tercermin dari munculnya negara bangsa di kawasan Eropa Barat
yang menekankan pada balance of payments.
Adalah pendukung laissez faire, pernah
menjadi menteri keuangan dalam pemerintahan Louis XVI dan membubarkan serikat
kerja (guild), menghapus semua larangan perdagangan gandum dan mempertahankan
anggaran berimbang. Dia terkenal dekat dengan raja meskipun akhirnya dipecat
pada 1776. Karyanya Reflection on the Formation and Distribution of Wealth
menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang perekonomian. Sebagai seorang
physiocrats, Turgot membela pertanian sebagai sektor paling produktif dalam
ekonomi. Karyanya yang terang ini memberikan pemahaman yang baik tentang
preferensi waktu, kapital dan suku bunga, dan peran
enterpreneur-kapitalis dalam ekonomi kompetetitif.
g. Etienne
Bonnot de Condillac (1714-80)
Adalah orang yang membela Turgot di saat-saat
sulit tahun 1775 ketika dia menghadapi kerusuhan pangan saat menjabat sebagai
menteri keuangan. Codillac juga merupakan seorang pendukung perdagangan bebas.
Karyanya Commerce and Government (terbit sebulan sebelum The Wealth of Nation,
1776) mencakup gagasan ekonomi yang sangat maju. Dia mengakui manufaktur
sebagai sektor produktif, perdagangan sebagai representasi nilai yang tak
seimbang dimana kedua belah pihak bisa mendapat keuntungan, dan mengakui bahwa
harga ditentukan oelh nilai guna, bukan nilai kerja.
Menulis buku The National Gain pada 1765 yang
menerangkan ide tentang kemerdekaan dalam perdagangan dan industri dan
menyelidiki hubungan antara ekonomi dan masyarakat dan meletakkan dasar
liberalism, sebelas tahun sebelum Adam Smith menulis hal yang sama namun lebih
komprehensif dalamThe Wealth of Nations. Menurut Chydenius, democracy, kesetaraan
dan penghormatan pada hak asasi manusia adalah jalan satu-satunya untuk
kemajuan dan kebahagiaan bagi seluruh anggota masyarakat.
i. Adam
Smith’s The Wealth of Nations
Ide utama yang diajukan oleh Smith adalah
kompetisi antara berbagai penyedia barang dan pembeli akan menghasilkan
kemungkinan terbaik dalam distribusi barang dan jasa karena hal itu akan
mendorong setiap orang untuk melakukan spesialisasi dan peningkatan modalnya
sehingga akan menghasilkan nilai lebih dengan tenaga kerja yang tetap. Smith’s
thesis berkeyakinan bahwa sebuah sistem besar akan mengatur dirinya sendiri
dengan menjalankan aktivits-aktivitas masing-masing bagiannya sendiri-sendiri
tanpa harus mendapatkan arahan tertentu. Hal ini yang biasa disebut sebagai
“invisible hand” dan masih menjadi pusat gagasan dari ekonomi pasar dan
capitalism itu sendiri.
j. Karl
Marx
Pada abad 19th, karl max menggabungkan
berbagai aliran pemikiran meliputi distribusi sosial dari sumber daya, mencakup
karya Adam Smith, juga pemikiran socialism dan egalitarianism, dengan
menggunakan pendekatan sistematis pada logika yang diambil dari Georg Wilhelm Friedrich Hegeluntuk
menghasilkan Das Kapital. Ajarannya banyak dianut oleh mereka yang mengkritik
ekonomi pasar selama abad 19th dan 20th. Ekonomi Marxist berlandaskan pada
labor theory of value yang dasarnya ditanamkan oleh classical economists
(termasuk Adam Smith) dan kemudian dikembangkan
oleh Marx. Pemikiran Marxist beranggapan bahwa capitalism adalah berlandaskan
pada exploitation kelas pekerja: pendapatan yang diterima mereka selalu lebih
rendah dari nilai pekerjaan yang dihasilkannya, dan selisih itu diambil oleh
capitalist dalam bentuk profit.
k. John
Maynard Keynes pada 1920
Macroeconomics mulai dipisahkan dari
microeconomics dan menjadi kesepakatan bersama pada 1930s oleh Keynes dan
lainnya, terutama John Hicks. Mereka mendapat ketenaran karena gagasannya dalam
mengatasi Great Depression. Keynes adalah tokoh penting dalam gagasan
pentingnya keberadaaan central banking dan campur tangan pemerintah dalam
hubungan ekonomi. Karyanya “General Theory of Employment, Interest and Money”
menyampaikan kritik terhadap ekonomi klasik dan juga mengusulkan metode untuk
management of aggregate demand. Pada masa sesudah global depression pada 1930s,
negara memainkan peranan yang penting pada capitalistic system di hampir
sebagian besar kawasan dunia. Pada 1929, sebagai contoh, total pengeluaran U.S.
government (federal, state, and local) berjumlah kurang dari sepersepuluh
dari GNP; pada 1970s mereka berjumlah mencapai sepertiga. Peningkatan yang sama
tampak pada industrialized capitalist economies, sepreti France misalnya, telah
mencapai ratios of government expenditures dari GNP yang lebih tinggi
dibandingkan United States. Sistem economies ini seringkali disebut dengan
“mixed economies.”
Sementara itu untuk sejarah
perkembangan di Indonesia sendiri dijelaskan sebagai berikut.
PERKEMBANGAN
EKONOMI WILAYAH di INDONESIA
Krisis nilai tukar telah menurunkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Nilai tukar rupiah yang merosot tajam sejak
bulan Juli 1997 menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam triwulan ketiga
dan triwulan keempat menurun menjadi 2,45 persen dan 1,37 persen. Pada triwulan
pertama dan triwulan kedua tahun 1997 tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia
sebesar 8,46 persen dan 6,77 persen. Pada triwulan I tahun 1998 tercatat
pertumbuhan negatif sebesar -6,21 persen.
Merosotnya
pertumbuhan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari masalah kondisi usaha sektor
swasta yang makin melambat kinerjanya. Kelambatan ini terjadi antara lain
karena sulitnya memperoleh bahan baku impor yang terkait dengan tidak
diterimanya LC Indonesia dan beban pembayaran hutang luar negeri yang semakin
membengkak sejalan dengan melemahnya rupiah serta semakin tingginya tingkat
bunga bank. Kerusuhan yang melanda beberapa kota dalam bulan Mei 1998
diperkirakan akan semakin melambatkan kinerja swasta yang pada giliran
selanjutnya menurunkan lebih lanjut pertumbuhan ekonomi, khususnya pada
triwulan kedua tahun 1998.
Sementara
itu perkembangan ekspor pada bulan Maret 1998 menunjukkan pertumbuhan ekspor
nonmigas yang menggembirakan yaitu sekitar 16 persen. Laju pertumbuhan ini
dicapai berkat harga komoditi ekspor yang makin kompetitif dengan merosotnya
nilai rupiah. Peningkatan ini turut menyebabkan surplus perdagangan melonjak
menjadi 1,97 miliar dollar AS dibandingkan dengan 206,1 juta dollar AS pada
bulan Maret tahun 1997. Impor yang menurun tajam merupakan faktor lain
terciptanya surplus tersebut. Impor pada bulan Maret 1998 turun sebesar 38
persen sejalan dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi.
TEORI EKONOMI WILAYAH
Teori
Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Regional
Pembangunan
ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya
mengelola sumber daya – sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan
antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja
baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam
wilayah tersebut (Arsyad, 1999 : 108).
Pembangunan
regional pada dasarnya adalah berkenaan dengan tingkat dan perubahan selama
kurun waktu tertentu suatu set (gugus) variabel-variabel, seperti produksi,
penduduk, angkatan kerja, rasio modal tenaga, dan imbalan bagi faktor (factor
returns) dalam daerah di batasi secara jelas. Laju pertumbuhan dari
daerah-daerah biasanya di ukur menurut output atau tingkat pendapatan.
Pembangunan
ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang melibatkan
pembentukan institusi baru, pembangunan industri alternatif, perbaikan
kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk yang lebih baik,
identifikasi pasar-pasar baru, dan transformasi pengetahuan (Adisasmita 2005
dalam Manik, 2009 : 32).
Pertumbuhan
ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat secara keseluruhan
yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (value
added) yang terjadi (Tarigan, 2005 : 46).
Perhitungan
pendapatan wilayah pada awalnya dibuat dalam harga berlaku. Namun agar dapat
melihat pertambahan dari satu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya, harus
dinyatakan dalam nilai riel, artinya dinyatakan dalam harga konstan. Pendapatan
wilayah menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi di
daerah tersebut (tanah, modal, tenaga kerja, dan teknologi), yang berarti
secara kasar dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut. Kemakmuran suatu
wilayah selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di wilayah
tersebut juga oleh seberapa besar terjadi transfer payment, yaitu bagian
pendapatan yang mengalir ke luar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar
wilayah.
Pertumbuhan
regional adalah produk dari banyak faktor, sebagian bersifat intern dan
sebagian lagi bersifat ekstern dan sosio politik. Fakto-faktor yang berasal
dari daerah itu sendiri meliputu distribusi faktor produksi seperti tanah,
tenaga kerja, modal sedangkan salah satu penentu ekstern yang penting adalah
tingkat permintaan dari daerah-daerah lain terhadap komoditi yang dihasilkan
daerah tersebut.
Pertumbuhan
ekonomi daerah yang berbeda-beda intensitasnya akan menyebabkan terjadinya
ketimpangan atau disparitas ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar daerah.
Myrdal (1968) dan Friedman (1976) menyebutkan bahwa pertumbuhan atau
perkembangan daerah akan menuju kepada divergensi.
Ada
beberapa teori pembangunan dan pertumbuhan ekonomi regional yang lazim dikenal,
diantaranya :
1.
Teori Basis Ekspor
Teori
Basis Ekspor (Export Base Theory) dipelopori oleh Douglas C. North
(1995) dan kemudian dikembangkan oleh Tiebout (1956). Teori ini membagi sektor
produksi atau jenis pekerjaan yang terdapat di dalam suatu wilayah atas
pekerjaan basis (dasar) dan pekerjaan service (non-basis). Kegiatan basis
adalah kegiatan yang bersifat exogenous artinya tidak terikat pada
kondisi internal perekonomian wilayah tersebut dan sekaligus berfungsi
mendorong tumbuhnya jenis pekerjaan lainnya. Sedangkan kegiatan non-basis adalah
kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah itu sendiri.
Teori
basis ekspor menggunakan dua asumsi, yaitu, Asumsi pokok atau yang utama bahwa
ekspor adalah satu-satunya unsur eksogen (independent) dalam
pengeluaran, artinya semua unsur pengeluaran lain terikat (dependent)
terhadap pendapatan. Secara tidak langsung hal ini berarti diluar pertambahan
alamiah, hanya peningkatan ekspor saja yang dapat mendorong peningkatan
pendapatan daerah karena sektor lain terikat oleh peningkatan pendapatan
daerah. Sektor lain hanya meningkat apabila pendapatan daerah secara
keseluruhan meningkat. Asumsi kedua adalah bahwa fungsi pengeluaran dan fungsi
impor bertolak dari titik nol sehingga tidak akan berpotongan.
Beberapa
hal penekanan dalam model teori basis ekspor yaitu, antara lain :
a. Bahwa suatu daerah tidak harus menjadi
daerah industri untuk dapat tumbuh dengan cepat, sebab faktor penentu
pertumbuhan daerah adalah keuntungan komparatif (keuntungan lokasi) yang
dimiliki oleh daerah tersebut;
b. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan
dapat dimaksimalkan bila daerah yang bersangkutan memanfaatkan keuntungan
komparatif yang dimiliki menjadi kekuatan basis ekspor;
c. Ketimpangan antar daerah tetap sangat
besar dipengaruhi oleh variasi potensi masing-masing daerah.
Model
teori basis ini adalah sederhana, sehingga memiliki kelemahan-kelemahan antara
lain sebagai berikut :
1. Menurut
Richardson, besarnya basis ekspor adalah fungsi terbalik dari besarnya suatu
daerah. Artinya, makin besar suatu daerah maka ekspornya akan semakin kecil
apabila dibandingkan dengan total pendapatan.
2. Ekspor
jelas bukan satu-satunya faktor yang dapat meningkatkan pendapatan daerah. Ada
banyak unsur lain yang dapat meningkatkan pendapatan daerah seperti :
pengeluaran atau bantuan pemerintah pusat, investasi, dan peningkatan
produktivitas tenaga kerja.
3. Dalam
melakukan studi atas suatu wilayah, multiplier basis yang diperoleh
adalah rata-ratanya bukan perubahannya. Menggunakan multiplier basis rata-rata
untuk proyeksi seringkali memberikan hasil yang keliru apabila nilai multiplier
dari tahun ke tahun.
4. Beberapa
pakar berpendapat bahwa apabila pengganda basis digunakan sebagai alat proyeksi
maka masalah time lag (masa tenggang) harus diperhatikan.
5. Ada
kasus dimana suatu daerah yang tetap berkembang pesat meski ekspornya relatif
kecil. Pada umumnya hal ini dapat terjadi pada daerah yang terdapat banyak
ragam kegiatan dan satu kegiatan saling membutuhkan dari produk kegiatan
lainnya.
2. Teori
Pertumbuhan Jalur Cepat
Teori
pertumbuhan jalur cepat (turnpike) diperkenalkan oleh Samuelson pada
tahun 1955 (Tarigan, 2005 : 54). Inti dari teori ini adalah menekankan bahwa
setiap daerah perlu mengetahui sektor ataupun komoditi apa yang memiliki
potensi besar dan dapat dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi alam
maupun karena sektor itu memiliki competitive advantage untuk
dikembangkan. Artinya, dengan kebutuhan modal yang sama sektor tersebut dapat
memberikan nilai tambah yang lebih besar, dapat berproduksi dalam waktu relatif
singkat dan sumbangan untuk perekonomian juga cukup besar. Agar pasarnya
terjamin, produk tersebut harus bisa diekspor (keluar daerah atau luar negeri).
Perkembangan sektor tersebut akan mendorong sektor lain turut berkembang
sehingga perekonomian secara keseluruhan akan tumbuh. Mensinergikan sektor-
sektor adalah membuat sektor-sektor saling terkait dan saling mendukung.
menggabungkan kebijakan jalur cepat dan mensinergikannya dengan sektor lain
yang terkait akan mampu membuat perekonomian tumbuh cepat.
Selain
itu perlu diperhatikan pandangan beberapa ahli ekonomi (Schumpeter dan ahli
lainnya) yang mengatakan bahwa kemajuan teknologi sangat ditentukan oleh jiwa
usaha (entrepreneurship) dalam masyarakat. Jiwa usaha berarti pemilik
modal mampu melihat peluang dan mengambil resiko untuk membuka lapangan kerja
baru untuk menyerap angkatan kerja yang bertambah setiap tahunnya.
3. Teori Pusat Pertumbuhan
Teori
Pusat Pertumbuhan (Growth Poles Theory) adalah satu satu teori yang
dapat menggabungkan antara prinsip-prinsip konsentrasi dengan desentralisasi
secara sekaligus. Dengan demikian teori pusat pengembangan merupakan salah satu
alat untuk mencapai tujuan pembangunan regional yang saling bertolak belakang,
yaitu pertumbuhan dan pemerataan pembangunan ke seluruh pelosok daerah. Selain
itu teori ini juga dapat menggabungkan antara kebijaksanaan dan program
pembangunan wilayah dan perkotaan terpadu.
Dalam
suatu wilayah, ada penduduk atau kegiatan yang terkosentrasi pada suatu tempat,
yang disebut dengan berbagai istilah seperti : kota, pusat perdagangan, pusat
industri, pusat pertumbuhan, simpul distribusi, pusat pemukiman, atau daerah
modal. Sebaliknya, daerah di luar pusat konsentrasi dinamakan : daerah
pedalaman, wilayah belakang (hinterland), daerah pertanian, atau daerah
pedesaan.
Keuntungan
berlokasi pada tempat konsentrasi atau terjadinya agglomerasi disebabkan faktor
skala ekonomi (economic of scale) atau agglomeration (economic of
localization) (Tarigan, 2005 : 159). Economic of scale adalah
keuntungan karena dalam berproduksi sudah berdasarkan spesialisasi, sehingga
produksi menjadi lebih besar dan biaya per unitnya menjadi lebih efisien. Economic
of agglomeration adalah keuntungan karena di tempat tersebut terdapat
berbagai keperluan dan fasilitas yang dapat digunakan untuk memperlancar
kegiatan perusahaan, seperti jasa perbankan, asuransi, perbengkelan, perusahaan
listrik, perusahaan air bersih, tempat-tempat pelatihan keterampilan, media
untuk mengiklankan produk, dan lain sebagainya.
Hubungan
antara kota (daerah maju) dengan daerah lain yang lebih terbelakang dapat
dibedakan sebagai berikut : (1) Generatif : hubungan yang saling
menguntungkan atau saling mengembangkan antara daerah yang lebih maju dengan
daerah yang ada di belakangnya; (2) Parasitif : hubungan yang terjadi
dimana daerah kota (daerah yang lebih maju) tidak banyak membantu atau menolong
daerah belakangnya, dan bahkan bisa mematikan berbagai usaha yang mulai tumbuh
di daerah belakangnya; (3) Enclave (tertutup) : dimana daerah kota
(daerah yang lebih maju) seakan-akan terpisah sama sekali dengan daerah
sekitarnya yang lebih terbelakang.
Pusat
pertumbuhan harus memiliki empat ciri, yaitu adanya hubungan intern antara
berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, adanya multiplier
effect (unsur pengganda), adanya konsentrasi geografis, dan bersifat
mendorong pertumbuhan daerah belakangnya (Tarigan, 2005 : 162).
4. Teori Neoklasik
Teori
Neoklasik (Neo-classic Theory) dipelopori oleh Borts Stein (1964),
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Roman (1965) dan Siebert (1969). Dalam
negara yang sedang berkembang, pada saat proses pembangunan baru dimulai,
tingkat perbedaan kemakmuran antar wilayah cenderung menjadi tinggi (divergence),
sedangkan bila proses pembangunan telah berjalan dalam waktu yang lama maka
perbedaan tingkat kemakmuran antar wilayah cenderung menurun (convergence).
Hal ini disebabkan pada negara sedang berkembang lalu lintas modal masih belum
lancar sehingga proses penyesuaian kearah tingkat keseimbangan pertumbuhan
belum dapat terjadi.
Teori
ini mendasarkan analisanya pada komponen fungsi produksi. Unsur-unsur yang
menentukan pertumbuhan ekonomi regional adalah modal, tenaga kerja, dan
teknologi. Adapun kekhususan teori ini adalah dibahasnya secara mendalam
pengaruh perpindahan penduduk (migrasi) dan lalu lintas modal terhadap
pertumbuhan regional.
5. Model Kumulatif Kausatif
Model
kumulatif kausatif (Cummulative Causation Models) dipelopori oleh Gunnar
Myrdal (1975) dan kemudian diformulasikan lebih lanjut oleh Kaldor. Teori ini
menyatakan bahwa adanya suatu keadaan berdasarkan kekuatan relatif dari “Spread
Effect” dan “Back Wash Effect”. Spread Effect adalah kekuatan
yang menuju konvergensi antar daerah-daerah kaya dan daerah-daerah miskin.
Dengan timbulnya daerah kaya, maka akan tumbuh pula permintaannya terhadap
produk daerah-daerah miskin. Dengan demikian mendorong pertumbuhannya.
Namun
Myrdal yakin bahwa dampak spread effect ini lebih kecil daripada back
wash effect. Pertambahan permintaan terhadap produk daerah miskin tersebut
terutama barang-barang hasil pertanian oleh daerah kaya tentu saja mempunyai
nilai permintaan yang rendah, sementara konsumsi daerah miskin terhadap produk
daerah kaya akan lebih mungkin terjadi. Para pelopor teori ini menekankan
pentingnya campur tangan pemerintah untuk mengatasi perbedaan yang semakin
menonjol.
6. Model
Interregional
Model
ini merupakan perluasan dari teori basis ekspor dengan menambah faktor-faktor
yang bersifat eksogen. Selain itu, model basis ekspor hanya membahas daerah itu
sendiri tanpa memperhatikan dampak dari daerah tetangga. Model ini memasukkan
dampak dari daerah tetangga, sehingga model ini dinamakan model interregional
(Tarigan, 2005 : 58).
Sumber-sumber
perubahan pendapatan regional (Tarigan, 2005 : 60) dapat berasal dari :
1. Perubahan
pengeluaran otonomi regional, seperti : investasi dan pengeluaran pemerintah,
2. Perubahan
pendapatan suatu daerah atau beberapa daerah lain yang berada dalam suatu
sistem yang akan terlihat dari perubahan ekspor,
3. Perubahan
salah satu di antara parameter-parameter model (hasrat konsumsi marjinal,
koefisien perdagangan interregional, atau tingkat pajak marjinal).
KONSEP PERKEMBANGAN EKONOMI WILAYAH
Isu-isu
utama dalam perkembangan ekonomi wilayah yang perlu dikenali adalah antara lain
sebagai berikut.
a. Perkembangan Penduduk dan Urbanisasi
Pertumbuhan
penduduk merupakan faktor utama pertumbuhan ekonomi, yang mampu menyebabkan
suatu wilayah berubah cepat dari desa pertanian menjadi agropolitan dan
selanjutnya menjadi kota besar. Pertumbuhan penduduk terjadi akibat proses
pertumbuhan alami dan urbanisasi. Petumbuhan alami penduduk menjadi faktor
utama yang berpengaruh pada ekonomi wilayah karena menciptakan kebutuhan akan
berbagai barang dan jasa. Penduduk yang bertambah membutuhkan pangan. Rumah
tangga baru juga membutuhkan rumah baru atau renovasi rumah lama berikut
perabotan, alat-alat rumah tangga dan berbagai produk lain. Dari sini kegiatan
pertanian dan industri berkembang.
Urbanisasi dilakukan oleh
orang-orang muda usia yang pergi mencari pekerjaan di industri atau perusahaan
yang jauh dari tempat dimana mereka berasal. Perpindahan ke wilayah lain dari
desa atau kota kecil telah menjadi tren dari waktu ke waktu akibat pengaruh
dari televisi, perusahaan pengerah tenaga kerja, dan berbagai sumber lainnya.
Suatu kajian mengindikasikan bahwa pendidikan berkaitan erat dengan perpindahan
ini. Secara umum semakin tinggi tingkat pendidikan maka tingkat perpindahan pun
semakin tinggi. Hal ini semakin meningkat dengan semakin majunya
telekomunikasi, komputer dan aktivitas high tech lainnya yang memudahkan
akses keluar wilayah.
Urbanisasi
orang-orang muda ini dipandang pelakunya sebagai penyaluran kebutuhan ekonomi
mereka namun merupakan peristiwa yang kurang menguntungkan bagi wilayah itu
bila terjadi dalam jumlah besar. Untuk mengurangi migrasi keluar ini masyarakat
perlu untuk mulai melatih angkatan kerja pada tahun-tahun pertama usia kerja
dengan memberikan pekerjaan sambilan, selanjutnya merencanakan masa depan
mereka sebagai tenaga dewasa yang suatu saat akan membentuk keluarga. Sebagai
dorongan bagi mereka untuk tetap tinggal adalah dengan menyediakan lapangan
pekerjaan yang sesuai.
Lembaga
pendidikan/pelatihan dan dunia usaha perlu menyadari adanya kebutuhan untuk
membangun hubungan kerjasama. Pendidikan mencari cara agar mereka cukup berguna
bagi pengusaha lokal dan pengusaha lokal mengandalkan pada pendidikan untuk
meningkatkan kemampuan tenaga kerja lokal. Jika metode pendidikan yang ada
tidak dapat mengatasi tantangan yang dihadapi, maka ada keperluan untuk
mendatangkan tenaga ahli dari wilayah lain untuk memberikan pelatihan yang
dapat mensuplai tenaga kerja terampil bagi pengusaha lokal.
b. Sektor
Pertanian
Di
setiap wilayah berpenduduk selalu terjadi kegiatan pembangunan, namun ada
beberapa wilayah yang pembangunannya berjalan di tempat atau bahkan berhenti
sama sekali, dan wilayah ini kemudian menjadi wilayah kelas kedua dalam
kegiatan ekonomi. Hal ini mengakibatkan penanam modal dan pelaku bisnis keluar
dari wilayah tersebut karena wilayah itu dianggap sudah tidak layak lagi untuk
dijadikan tempat berusaha. Akibatnya laju pertumbuhan ekonomi wilayah itu
menjadi semakin lambat.
Upaya
pengembangan sektor agribisnis dapat menolong mengembangkan dan mempromosikan
agroindustri di wilayah tertinggal. Program kerjasama dengan pemilik lahan atau
pihak pengembang untuk mau meminjamkan lahan yang tidak dibangun atau lahan
tidur untuk digunakan sebagai lahan pertanian perlu dikembangkan. Dari jumlah
lahan pertanian yang tidak produktif ini dapat diciptakan pendapatan dan
lapangan kerja bagi penganggur di perdesaan. Program kerjasama mengatasi
keterbatasan modal, mengurangi resiko produksi, memungkinkan petani memakai bahan
baku impor dan produk yang dihasilkan dapat mampu bersaing dengan barang impor
yang sejenis serta mencarikan dan membuka pasaran yang baru.
Faktor-faktor
penentu pertumbuhan ekonomi dapat berasal dari dalam wilayah maupun dari luar
wilayah. Globalisasi adalah faktor luar yang dapat menyebabkan merosotnya
kegiatan ekonomi di suatu wilayah. Sebagai contoh, karena kebijakan AFTA, maka
di pasaran dapat terjadi kelebihan stok produk pertanian akibat impor dalam
jumlah besar dari negara ASEAN yang bisa merusak sistem dan harga pasar lokal.
Untuk tetap dapat bersaing, target pemasaran yang baru harus segera ditentukan
untuk menyalurkan kelebihan hasil produksi pertanian dari petani lokal. Salah
satu strategi yang harus dipelajari adalah bagaimana caranya agar petani
setempat dapat mengikuti dan melaksanakan proses produksi sampai ke tingkat
penyaluran. Namun daripada bersaing dengan produk impor yang masuk dengan harga
murah, akan lebih baik jika petani setempat mengolah komoditi yang spesifik
wilayah tersebut dan menjadikannya produk yang bernilai jual tinggi untuk
kemudian disebarluaskan di pasaran setempat maupun untuk diekspor.
Apa
yang telah terjadi di Pulau Jawa kiranya perlu dihindari oleh daerah-daerah
lain. Pengalihan fungsi sawah menjadi fungsi lain telah terjadi tanpa sulit
dicegah. Hal ini mengurangi pemasukan ekonomi dari sektor pertanian di wilayah
tersebut, disamping itu juga menghilangkan kesempatan untuk menjadikan wilayah
yang mandiri dalam pengadaan pangan, termasuk mengurangi kemungkinan berkembangnya
wisata ekologi yang memerlukan lahan alami.
c. Sektor
Pariwisata
Pariwisata
memberikan dukungan ekonomi yang kuat terhadap suatu wilayah. Industri ini
dapat menghasilkan pendapatan besar bagi ekonomi lokal. Kawasan sepanjang
pantai yang bersih dapat menjadi daya tarik wilayah, dan kemudian berlanjut
dengan menarik turis dan penduduk ke wilayah tersebut. Sebagai salah satu
lokasi rekreasi, kawasan pantai dapat merupakan tempat yang lebih komersial
dibandingkan kawasan lain, tergantung karakteristiknya. Sebagai sumber alam
yang terbatas, hal penting yang harus diperhatikan adalah wilayah pantai
haruslah menjadi aset ekonomi untuk suatu wilayah.
Wisata
ekologi memfokuskan pada pemanfaatan lingkungan. Kawasan wisata ekologi
merupakan wilayah luas dengan habitat yang masih asli yang dapat memberikan
landasan bagi terbentuknya wisata ekologi. Hal ini merupakan peluang unik untuk
menarik pasar wisata ekologi. Membangun tempat ini dengan berbagai aktivitas
seperti berkuda, surfing, berkemah, memancing dll. akan dapat membantu
perluasan pariwisata serta mengurangi kesenjangan akibat pengganguran.
Wisata
budaya merupakan segmen yang berkembang cepat dari industri pariwisata.
Karakter dan pesona dari desa/kota kecil adalah faktor utama dalam menarik
turis. Namun kegiatan pariwisata bersifat musiman, sehingga banyak pekerjaan
bersifat musiman juga, yang dapat menyebabkan tingginya tingkat pengangguran
pada waktu-waktu tertentu. Hal ini menyebabkan ekonomi lokal dapat rentan
terhadap perputaran siklus ekonomi.
Ekonomi
wilayah sebaiknya tidak berbasis satu sektor tertentu. Keaneka-ragaman ekonomi
diperlukan untuk mempertahankan lapangan pekerjaan dan untuk menstabilkan
ekonomi wilayah. Ekonomi yang beragam lebih mampu bertahan terhadap
konjungtur ekonomi.
d. Kualitas
Lingkungan
Persepsi
atas suatu wilayah, apakah memiliki kualitas hidup yang baik, merupakan hal
penting bagi dunia usaha untuk melakukan investasi. Investasi pemerintah daerah
yang meningkatkan kualitas hidup masyarakat sangat penting untuk mempertahankan
daya saing. Jika masyarakat ingin menarik modal dan investasi, maka haruslah
siap untuk memberi perhatian terhadap: keanekaragaman, identitas dan sikap
bersahabat. Pengenalan terhadap fasilitas untuk mendorong kualitas hidup yang
dapat dinikmati oleh penduduk suatu wilayah dan dapat menarik bagi investor
luar perlu dilakukan.
Kawasan
bersejarah adalah pembentuk kualitas lingkungan yang penting. Pelestarian
kawasan bersejarah berkaitan dengan berbagai aspek ekonomi lokal seperti
keuangan daerah, permukiman, perdagangan kecil, dan pariwisata dengan
menciptakan pekerjaan yang dapat signifikan. Kegiatan ini memberikan kontribusi
terhadap kualitas hidup, meningkatkan citra masyarakat dan menarik kegiatan
ekonomi yang menghasilkan pendapatan bagi penduduk. Pelestarian kawasan
bersejarah memberikan perlindungan kepada warisan budaya dan membuat masyarakat
memiliki tempat yang menyenangkan untuk hidup. Investor dan developer umumnya
menilai kekuatan wilayah melalui kualitas dan karakter dari wilayahnya, salah satunya
adalah terpeliharanya kawasan bersejarah.
Selain
aset alam dan budaya, sarana umum merupakan penarik kegiatan bisnis yang
penting. Untuk melihat dan mengukur tingkat kenyamanan hidup pada suatu wilayah
dapat dilihat dari ketersediaan sarana umum di wilayah tersebut. Sarana umum
merupakan kerangka utama dari pembangunan ekonomi dan sarana umum ini sangat
penting bagi aktivitas masyarakat. Sarana umum yang palling dasar adalah jalan,
pelabuhan, pembangkit listrik, sistim pengairan, sarana air bersih, penampungan
dan pengolahan sampah dan limbah, sarana pendidikan seperti sekolah, taman
bermain, ruang terbuka hijau, sarana ibadah, dan masih banyak fasilitas lainnya
yang berhubungan dengan kegiatan sehari-hari masyarakat.
Kepadatan,
pemanfaatan lahan dan jarak merupakan
tiga faktor utama dalam pengembangan sarana umum yang efektif. Semakin padat
dan rapat penduduk, biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan sarana umum jauh
lebih murah jika dilihat daya tampung per unitnya. Pola pembangunan yang padat,
kompak dan teratur, berbiaya lebih murah daripada pembangunan yang linier atau
terpencar-pencar. Semakin efisien biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan dan
pengadaan sarana umum maka akan semakin memperkokoh dan memperkuat pembangunan
ekonomi wilayah tersebut.
Sarana
umum yang baru perlu dibangun sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk.
Idealnya fasilitas sarana umum yang ada harus dapat menampung sesuai dengan
kapasitas maksimalnya, sehingga dapat
memberikan waktu untuk dapat membangun sarana umum yang baru. Penggunaan lahan
dan sarana umum haruslah saling berkaitan satu sama lainnya. Perencana
pembangunan seharusnya dapat memprediksikan arah pembangunan yang akan
berlangsung sehingga dapat dibuat sarana umum yang baru untuk menunjang
kegiatan masyarakat pada wilayah tersebut. Penyediaan sarana dapat juga
dilakukan dengan memberikan potongan pajak dan ongkos kompensasi berupa
pengelolaan sarana umum kepada sektor swasta yang bersedia membangun fasilitas
umum.
Wilayah
pinggiran biasanya memiliki karakter sebagai wilayah yang tidak direncanakan,
berkepadatan rendah dan tergantung sekali keberadaannya pada penggunaan lahan
yang ada. Tempat seperti ini akan membuat penyediaan sarana umum menjadi sangat
mahal. Dalam suatu wilayah antara kota, desa dan tempat-tempat lainnya harus
ada satu kesatuan. Pemerintah daerah perlu mengenali pola pengadaan sarana umum
di suatu wilayah yang efektif, baik di wilayah lama maupun di wilayah
pinggiran.
e. Keterkaitan
Wilayah dan Aglomerasi
Kemampuan
wilayah untuk mengefisienkan pergerakan orang, barang dan jasa adalah komponen
pembangunan ekonomi yang penting. Suatu wilayah perlu memiliki akses
transportasi menuju pasar secara lancar. Jalur jalan yang menghubungkan suatu
wilayah dengan kota-kota lebih besar merupakan prasarana utama bagi
pengembangan ekonomi wilayah. Pelabuhan laut dan udara berpotensi untuk
meningkatkan hubungan transportasi selanjutnya. Pemeliharaan jaringan jalan,
perluasan jalur udara, jalur air diperlukan untuk meningkatkan mobilitas
penduduk dan pergerakan barang. Pembangunan prasarana diperlukan untuk
meningkatkan daya tarik dan daya saing wilayah. Mengenali kebutuhan pergerakan
yang sebenarnya perlu dilakukan dalam merencanakan pembangunan tarsnportasi.
Umumnya
usaha yang sama cenderung beraglomerasi dan membentuk kelompok usaha dengan
karakter yang sama serta tipe tenaga kerja yang sama. Produk dan jasa yang
dihasilkan juga satu tipe. Sumber daya alam dan industri pertanian biasanya
berada di tahap awal pembangunan wilayah dan menciptakan kesempatan yang potensial
untuk perkembangan wilayah. Pengelompokan usaha (aglomerasi) berarti semua
industri yang saling berkaitan saling membagi hasil produk dan keuntungan.
Pengelompokan itu juga menciptakan potensi untuk menciptakan jaringan kerjasama
yang dapat membangun kegiatan pemasaran bersama dan untuk menarik kegiatan
lainnya yang berkaitan ke depan atau ke belakang.
Pertumbuhan
ekonomi yang sehat sangat penting jika suatu wilayah ingin bersaing di pasar
lokal dan nasional. Untuk mencapai tujuan ini, pendekatan kawasan yang terpadu
diperlukan untuk mempromosikan pembangunan ekonomi. Prioritas utama adalah
mengidentifikasi kawasan-kawasan yang menunjukkan tanda-tanda aglomerasi dengan
seluruh kegiatan dan institusi yang membentuknya. Kemungkinan kawasan ini menjadi
pusat usaha dan perdagangan tergantung pada jaringan transportasi yang baik,
prasarana yang lengkap, tempat kerja yang mudah dicapai, dukungan modal, dan
kesempatan pelatihan/pendidikan.
PERMASALAHAN EKONOMI WILAYAH
1.
Ketimpangan Pembangunan Daerah
Salah
satu tujuan pembangunan ekonomi daerah adalah untuk mengurangi ketimpangan (disparity).
Peningkatan pendapatan per kapita memang menunjukkan tingkat kemajuan
perekonomian suatu daerah. Namun meningkatnya pendapatan per kapita tidak
selamanya menunjukkan bahwa distribusi pendapatan lebih merata. Seringkali di
negara-negara berkembang dalam perekonomiannya lebih menekankan penggunaan
modal dari pada tenaga kerja sehingga keuntungan dari perekonomian tersebut
hanya dinikmati sebagian masyarakat saja. Apabila ternyata pendapatan nasional
tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat, maka dapat
dikatakan bahwa telah terjadi ketimpangan. Terdapat beberapa bentuk-bentuk
ketimpangan dalam pembangunan daerah.
a.
Distribution Income Disparities
Terdapat
berbagai macam alat yang dapat dijumpai dalam mengukur tingkat ketimpangan
distribusi pendapatan penduduk (Distribution Income Disparities),
diantaranya yaitu :
1.
Kurva Lorenz (Lorenz Curve)
Kurva
Lorenz secara umum sering digunakan untuk menggambarkan bentuk ketimpangan yang
terjadi terhadap distribusi pendapatan masyarakat. Kurva Lorenz memperlihatkan
hubungan kuantitatif aktual antara persentase penerima pendapatan dengan
persentase pendapatan total yang benar-benar mereka terima selama periode
tertentu, misalnya, satu tahun.
Kurva
Lorenz digambarkan pada sebuah bidang persegi/bujur sangkar dengan bantuan
garis diagonalnya. Garis horizontal menunjukkan persentase penduduk penerima
pendapatan, sedangkan garis vertikal adalah persentase pendapatan. Semakin
dekat kurva ini dengan diagonalnya, berarti ketimpangan semakin rendah dan
sebaliknya semakin melebar kurva ini menjauhi diagonal berarti ketimpangan yang
terjadi semakin tinggi. Kemungkinan yang digambarkan kurva Lorenz diatas yaitu
:
a.
Jika kurva Lorenz adalah diagonal 0A maka terlihat 50% penduduk (penerima
pendapatan) memperoleh 50% pendapatan, menggambarkan pembagian pendapatan
sempurna merata.
b.
Jika 50% penduduk yang paling rendah pendapatannya menerima 25% pendapatan,
tergolong pada pembagian pendapatan cukup merata (kurva Lorenz 0CA).
c.
Jika kurva Lorenz adalah sisi siku 0BA, maka 100% penduduk sama sekali tidak
memperoleh pendapatan, menggambarkan pembagian pendapatan sempurna tidak
merata.
2. Gini
Index
Kelemahan
kurva Lorenz adalah sulit diaplikasikan, maka seorang sarjana statistik
matematik mencoba mengkuantifikasi konsep kurva Lorenz tersebut yaitu Mr. Gini,
yang selanjutnya hasil pendapatnya dikenal dengan Gini Index/Gini Ratio.
Gini index adalah ukuran ketimpangan pendapatan agregat yang angkanya
berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna).
Menurut
Gini setiap kurva Lorenz dapat dihitung nilai angkanya yang selanjutnya disebut
angka Gini dengan cara membagi luas yang dibentuk kurva Lorenz tersebut dengan
total pendapatan. Dari gambar kurva Lorenz dapat terlihat :
a.
Jika kurva Lorenz adalah 0CA maka
b.
Jika kurva Lorenz adalah diagonal pokok 0A maka = 0, yaitu merata sempurna.
c.
Jika kurva Lorenz adalah sisi siku 0BA maka = 1, yaitu merata tidak sempurna.
Dengan
demikian semakin kecil Gini index, maka semakin merata, sedang Gini
index yang semakin besar menunjukkan distribusi pendapatan yang makin tidak
merata. Maksimum dan minimum nilai G adalah : 0 ≤ G ≤ 1. Untuk menghitung Gini
Index yaitu :
dimana
:
G = Gini
Index
Pi =
Persentase kumulatif jumlah penduduk sampai kelas ke-i
Qi =
Persentase kumulatif jumlah pendapatan sampai kelas ke-i
I =
1,2,3,....n
G =
0, Perfect Equality
G =
1, Perfect Inequality
3.
Kriteria Bank Dunia
Berdasarkan
kriteria Bank dunia di dalam menentukan tingkat ketimpangan yang terjadi dalam
distribusi pendapatan penduduk, maka penduduk dibagi menjadi tiga kategori
yaitu :
a.
20% penduduk berpendapatan tinggi
b.
40% penduduk berpendapatan sedang
c.
40% penduduk berpendapatan rendah
Dimana
kriteria ketimpangannya adalah
1. Jika
40% penduduk berpendapatan rendah menerima pendapatan nasional < 12% maka
ketimpangan yang terjadi tergolong ketimpangan tinggi.
2. Jika
40% penduduk berpendapatan rendah menerima pendapatan nasional 12% - 17% maka
ketimpangan yang terjadi tergolong ketimpangan sedang/moderat.
3. Jika
40% penduduk berpendapatan rendah menerima pendapatan nasional > 17% maka
ketimpangan yang terjadi tergolong ketimpangan rendah.
2.
Regional Income Disparities
Ketimpangan
yang terjadi tidak hanya terhadap distribusi pendapatan masyarakat, akan tetapi
juga terjadi terhadap pembangunan antar daerah di dalam wilayah suatu negara.
Jeffrey
G. Williamson (1965) meneliti hubungan antara disparitas regional dengan
tingkat pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data ekonomi negara yang sudah
maju dan yang sedang berkembang. Ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan,
disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkosentrasi di
daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih “matang”, dilihat dari
pertumbuhan ekonomi, tampak adanya keseimbangan antardaerah dan disparitas
berkurang dengan signifikan.
Williamson
menggunakan Williamson Index (Indeks Williamson) untuk mengukur
ketimpangan pembangunan antar wilayah. Indeks Williamson menggunakan PDRB per
kapita sebagai data dasar. Alasannya jelas bahwa yang diperbandingkan adalah
tingkat pembangunan antar wilayah bukan tingkat kesejahteraan antar kelompok. Formulasi Indeks
Williamson secara statistik adalah sebagai berikut :
Keterangan
:
IW =
Indeks Williamson
Yi =
Pendapatan per kapita daerah i
Y =
Pendapatan per kapita rata-rata seluruh daerah
fi =
Jumlah penduduk daerah i
n =
Jumlah penduduk seluruh daerah
Angka
koefisien Indeks Williamson adalah 0 < IW < 1. Jika Indeks Williamson
semakin kecil atau mendekati nol menunjukkan ketimpangan yang semakin kecil
atau semakin merata dan sebaliknya angka yang semakin besar menunjukkan
ketimpangan yang semakin melebar. Walaupun indeks ini memiliki kelemahan yaitu
sensitive terhadap defenisi wilayah yang digunakan dalam perhitungan artinya
apabila ukuran wilayah yang digunakan berbeda maka akan berpengaruh terhadap
hasil perhitungannya, namun cukup lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan
pembangunan antar wilayah.
3.
Urban
Rural Income Disparities
Kondisi
sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di pedesaan umumnya masih jauh
tertinggal dibandingkan dengan mereka yang tinggal di perkotaan. Urban Rural
Income Disparities (Ketimpangan pembangunan/pendapatan antara wilayah
perkotaan dengan wilayah pedesaan), terjadi karena pembangunan yang lebih terfokus pada wilayah perkotaan
dibandingkan dengan pembangunan wilayah pedesaan.
Hal
ini terlihat dari perubahan struktur ekonomi dan proses industrialisasi, dimana
investasi ekonomi oleh swasta maupun pemerintah (infrastruktur dan kelembagaan)
cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Selain itu, kegiatan ekonomi di
wilayah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan kegiatan ekonomi yang
dikembangkan di wilayah pedesaan. Akibatnya peran kota yang diharapkan dapat
mendorong perkembangan pedesaan (trickling down effects), justru
memberikan dampak yang merugikan pertumbuhan pedesaan (backwash effects).
Faktor
internal pedesaan seperti sebaran spasial penduduk pedesaan yang
terpencar-pencar dan minimnya kesempatan kerja, juga menghambat perkembangan
wilayah pedesaan. Sebaran spasial penduduk pedesaan yang terpencar-pencar
menyebabkan mahalnya biaya penyediaan barang dan jasa publik secara efektif
untuk masyarakat pedesaan. Relatif melimpahnya jumlah tenaga kerja yang tanpa
disertai ketersediaan kesempatan kerja dibandingkan dengan kawasan
non-pedesaan, menjadikan masyarakat pedesaan tidak produktif.
2. Penyebab
Ketimpangan Pembangunan Antar Daerah
Proses
akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber, berupa akumulasi modal, ketimpangan
tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan
pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan (Riadi, 2007 :
2). Adanya heterogenitas dan beragam karakteristik suatu wilayah menyebabkan
kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi
suatu daerah. Bertitik tolak dari kenyataan itu, ketimpangan/kesenjangan antar
daerah merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap
perubahan dalam pembangunan itu sendiri.
Menurut
Myrdal (1957), perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan
akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash effects) mendominasi
pengaruh yang menguntungkan (spread effects) terhadap pertumbuhan
daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku
yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat
bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Arsyad, 1999
dalam Pakpahan, 2009 : 26).
Adapun
faktor-faktor penyebab ketimpangan pembangunan antar wilayah (Manik, 2009 : 23)
yaitu :
a. Perbedaan
kandungan sumber daya alam
Terdapatnya
perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumber daya alam pada masing-masing
daerah akan mendorong timbulnya ketimpangan antar daerah. Kandungan sumber daya
alam seperti minyak, gas alam, atau kesuburan lahan tentunya mempengaruhi
proses pembangunan di masing-masing daerah. Ada daerah yang memiliki minyak dan
gas alam, tetapi daerah lain tidak memilikinya. Ada daerah yang mempunyai
deposit batubara yang cukup besar, tetapi daerah tidak ada. Demikian pula
halnya dengan tingkat kesuburan lahan yang juga sangat bervariasi sehingga
mempengaruhi upaya untuk mendorong pembangunan pertanian pada masing-masing
daerah.
Perbedaan
kandungan sumber daya alam ini jelas akan mempengaruhi kegiatan produksi pada
daerah yang bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumber daya alam yang cukup
tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya yang relatif
murah dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam
yang lebih rendah. Kondisi ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang
bersangkutan menjadi lebih cepat dibandingkan dengan daerah lain.
b. Perbedaan
Kondisi Demografi
Faktor
utama lain yang juga dapat mendorong terjadinya ketimpangan antar daerah adalah
jika terdapat perbedaan kondisi demografi yang cukup besar antar daerah.
Kondisi demografi meliputi tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan,
tingkat pendidikan dan kesehatan, kondisi ketenagakerjaan dan tingkah laku
masyarakat daerah tersebut.
Perbedaan
kondisi demografi ini akan dapat mempengaruhi ketimpangan antar daerah karena
hal ini akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat pada daerah
yang bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografi yang baik akan cenderung
memiliki produktivias kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong
peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan
kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan. Sebaliknya, bila pada
suatu daerah tertentu kondisi demografinya kurang baik maka hal ini akan
menyebabkan relatif rendahnya produktivitas kerja masyarakat setempat yang
menimbulkan kondisi yang kurang menarik bagi penanaman modal sehingga
pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan akan menjadi lebih rendah.
c. Kurang
Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa
Mobilitas
barang dan jasa (perdagangan) antar daerah jelas akan mempengaruhi ketimpangan
pembangunan antar wilayah. Sebagaimana kita ketahui bahwa bila kegiatan
perdagangan (baik internasional maupun antar wilayah) kurang lancar maka proses
penyamaan harga faktor produksi (Factor Price Equilization) akan
terganggu. Akibatnya penyebaran proses pembangunan akan terhambat dan
ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung menjadi tinggi.
Mobilitas
barang dan jasa ini meliputi kegiatan perdagangan antardaerah dan migrasi baik
yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan. Bila mobilitas
barang tersebut kurang lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat
dijual ke daerah lain yang membutuhkan. Demikian pula halnya dengan migrasi
yang kurang lancar menyebabkan kelebihan tenaga kerja di suatu daerah yang
tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat membutuhkan. Akibatnya,
ketimpangan antar daerah akan cenderung tinggi. Mobilitas barang dan jasa ini
mengacu pada penyediaan sarana dan prasarana serta fasilitas-fasilitas di dalam
suatu daerah, seperti : jalan, jembatan, alat transportasi baik darat, laut
maupun udara dan lain-lain.
d. Perbedaan
Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Daerah
Perbedaan
konsentrasi kegiatan ekonomi antardaerah yang cukup tinggi akan cenderung
mendorong meningkatnya ketimpangan pembangunan antar daerah karena proses
pembangunan daerah akan lebih cepat pada daerah dengan konsentrasi kegiatan
ekonomi yang lebih tinggi. Demikian pula sebaliknya terjadi pada daerah dengan
konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih rendah. Pertumbuhan ekonomi akan
cenderung lebih cepat pada daerah dimana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi
yang cukup besar. Kondisi tersebut selanjutnya akan mendorong proses
pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat
pendapatan masyarakat. Demikian pula, apabila konsentrasi kegiatan ekonomi pada
suatu daerah relatif rendah yang selanjutnya juga mendorong terjadinya
pengangguran dan rendahnya tingkat pendapatan masyarakat setempat.
Konsentrasi
kegiatan ekonomi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,
terdapatnya sumber daya alam yang lebih banyak pada daerah tertentu, misalnya
minyak bumi, gas, batubara dan bahan mineral lainnya. Terdapatnya lahan yang
subur juga turut mempengaruhi, khususnya menyangkut pertumbuhan kegiatan
pertanian. Kedua, meratanya fasilitas trasnportasi, baik darat, laut, dan udara
juga ikut mempengaruhi konsentrasi kegiatan ekonomi antar daerah. Ketiga,
kondisi demografi (kependudukan) juga ikut mempengaruhi karena kegiatan ekonomi
akan cenderung terkonsentrasi dimana sumber daya manusia tersedia dengan
kualitas yang lebih baik.
e. Alokasi
Dana Pembangunan Antar Daerah
Investasi
merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan pertumbuhan ekonomi suatu
daerah. Karena itu, daerah yang dapat menarik lebih banyak investasi pemerintah
dan swasta akan cenderung mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang
lebih cepat. Selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui
penyediaan tenaga kerja yang lebih banyak dan tingkat pendapatan per kapita
yang lebih tinggi. Demikian juga sebaliknya terjadi bila investasi pemerintah
dan swasta yang masuk ke suatu daerah ternyatalebih rendah.
Alokasi
investasi pemerintah ke daerah lebih banyak ditentukan oleh sistem pemerintahan
daerah yang dianut. Bila sistem pemerintahan daerah yang dianut bersifat
sentralistik, maka alokasi dana pemerintah akan cenderung lebih banyak
dialokasikan pada pemerintah pusat, sehingga ketimpangan antardaerah cenderung
tinggi. Akan tetapi sebaliknya bilamana sistem pemerintahan yang dianut adalah
otonomi atau federal, maka dana pemerintah akan lebih banyak dialokasikan ke
daerah sehingga ketimpangan pembangunan antar daerah akan cenderung lebih
rendah.
Tidak
demikian halnya dengan investasi swasta yang lebih banyak ditentukan oleh
kekuatan pasar. Dalam hal ini kekuatan yang berperan banyak dalam menarik
investasi swasta ke suatu daerah adalah keuntungan lokasi yang dimiliki oleh
suatu daerah, sedangkan keuntungan lokasi tersebut ditentukan pula oleh ongkos
transportasi baik untuk bahan baku dan hasil produksi yang harus dikeluarkan
pengusaha, perbedaan upah buruh, konsenstrasi pasar, tingkat persaingan usaha
dan sewa tanah. Termasuk ke dalam keuntungan lokasi ini adalah keuntungan
aglomerasi yang timbul karena terjadinya konsentrasi beberapa kegiatan ekonomi
terkait pada suatu daerah tertentu. Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana
investasi cenderung lebih banyak terkonsentrasi di daerah perkotaan
dibandingkan dengan daerah pedesaan. Kondisi ini menyebabkan perkotaan
cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan daerah pedesaan.
4.
Dampak Ketimpangan Pembangunan
Ketimpangan
pembangunan telah memberikan berbagai dampak terhadap daerah dan masyarakat.
Adapun yang menjadi dampak dari ketimpangan tersebut (www.bappenas.go.id)
adalah :
a. Banyak
Wilayah-Wilayah yang Masih Tertinggal Dalam Pembangunan
Masyarakat
yang berada di wilayah tertinggal pada umumnya masih belum banyak tersentuh
oleh program-program pembangunan sehingga akses terhadap pelayanan sosial,
ekonomi dan politik masih sangat terbatas serta terisolir dari wilayah di
sekitarnya. Oleh karena itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di
wilayah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan pembangunan yang besar
dari pemerintah.
Permasalahan
yang dihadapi dalam pengembangan wilayah tertinggal, termasuk yang masih dihuni
oleh komunitas adat terpencil antara lain :
a. Terbatasnya
akses trasnportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal dengan wilayah yang
relatif maju.
b. Kepadatan
penduduk relatif rendah dan tersebar.
c. Kebanyakan
wilayah-wilayah ini miskin sumber daya, khususnya sumber daya alam dan manusia.
d. Belum
diprioritaskannya pembangunan di wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah
karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli daerah secara langsung.
e. Belum
optimalnya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayah-wilayah ini.
b. Belum
Berkembangnya Wilayah-Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh
Banyak
wilayah-wilayah yang memiliki produk unggulan dan lokasi strategis belum
dikembangkan secara optimal. Hal ini disebabkan, antara lain :
(a)
adanya keterbatasan informasi pasar dan
teknologi untuk pengembangan produk unggulan;
(b)
belum adanya sikap profesionalisme dan
kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasaan di daerah;
(c)
belum optimalnya dukungan kebijakan nasional
dan daerah yang berpihak pada petani dan pelaku swasta;
(d)
belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan
yang berorientasi pada pengelolaan pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam
perekonomian daerah;
(e)
masih lemahnya koordinasi, sinergi dan kerja
sama diantara pelaku-pelaku pengembangan kawasan baik pemerintah, swasta,
lembaga non pemerintah dan masyarakat serta antara pemerintah pusat, provinsi
dan kabupaten/kota dalam upaya meningkatkan daya saing produk unggulan;
(f)
masih terbatasnya akses petani dan pelaku
usaha kecil terhadap modal pengembangan usaha, input produksi, dukungan
teknologi, dan jaringan pemasaran dalam upaya mengembangkan peluang usaha dan
kerja sama investasi;
(g)
keterbatasan jaringan prasarana dan sarana
fisik dan ekonomi dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan
daerah;
(h)
belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerja
sama antar wilayah maupun antar negara untuk mendukung peningkatan daya saing
kawasan dan produk unggulan.
Sebenarnya,
wilayah strategis dan cepat tumbuh ini dapat dikembangkan secara lebih cepat,
karena memiliki produk unggulan yang berdaya saing. Jika sudah berkembang,
wilayah-wilayah tersebut diharapkan dapat berperan sebagai penggerak bagi
pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah sekitarnya yang miskin sumber daya dan
masih terbelakang.
c. Wilayah
Perbatasan dan Terpencil Kondisinya Masih Terbelakang
Wilayah
perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar memiliki potensi sumber daya
alam yang cukup besar, serta merupakan wilayah yang sangat strategis bagi
pertahanan dan keamanan negara. Namun demikian, pembangunan di beberapa wiayah
perbatasan masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan pembangunan di
wilayah negara tetangga. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di
daerah ini umumnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi
warga negara tetangga. Hal ini mengakibatkan timbulnya berbagai kegiatan
illegal di daerah perbatasan yang dikhawatirkan dalam jangka panjang dapat
menimbulkan kerawanan sosial.
Permasalahan
utama dari ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan adalah arah
kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi “inward
looking” sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman
belakang dari pembangunan daerah. Akibatnya, wilayah-wilayah perbatasan
dianggap bukan merupakan wilayah prioritas pembangunan oleh pemerintah.
Sementara itu daerah-daerah pedalaman yang ada juga sulit berkembang terutama
karena lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau. Diantaranya banyak yang
tidak berpenghuni atau sangat sedikit jumlah penduduknya, serta belum tersentuh
oleh pelayanan dasar pemerintah.
d. Kesenjangan
Pembangunan Antara Kota dan Desa
Ketimpangan
pembangunan mengakibatkan adanya kesenjangan antara daerah perkotaan dengan
pedesaan, yang diakibatkan oleh :
(a) investasi
ekonomi cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan;
(b) kegiatan
ekonomi di wilayah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan kegiatan
ekonomi di pedesaan;
(c) peran
kota yang diharapakan dapat mendorong perkembangan pedesaan, justru memberikan
dampak yang merugikan pertumbuhan pedesaan.
e. Pengangguran,
Kemiskinan dan Rendahnya Kualitas Sumber Daya Manusia
Dampak
utama dari ketimpangan pembangunan adalah pengangguran, kemiskinan dan
rendahnya kualitas sumber daya manusia. Dampak ini merupakan dampak turunan
dari kurangnya lapangan kerja di suatu daerah bersangkutan, yang disebabkan
kurangnya investasi baik dari pemerintah maupun swasta, dan mengakibatkan
terjadinya pengangguran. Jika pengangguran terjadi maka biasanya disusul
terjadinya kemiskinan. Kemiskinan mengakibatkan kualitas sumber daya manusia
(generasi berikutnya) cenderung rendah, karena terbatasnya kemampuan untuk
menikmati pendidikan akibat rendahnya pendapatan masyarakat bahkan cenderung
tidak ada sama sekali, sehingga masyarakat lebih fokus untuk memenuhi kebutuhan
yang paling krusial yaitu makanan dan minuman.